Minggu, 30 Agustus 2020
Jumat, 28 Agustus 2020
A. Definisi Linguistik
B. Objek Kajian Linguistik
Objek linguistik adalah bahasa.Akan tetapi pengertian istilah “bahasa” itu belum jelas.Karena itu, marilah kita teliti berbagai arti yang dimiliki istilah “bahasa” itu.
Pertama, istilah “bahasa” sering dipakai dalam arti kiasan seperti dalam ungkapan seperti “bahasa tari”, “bahasa alam”, “bahasa tubuh”, dan lain sebagainya. Perlu diperhatikan bahwa arti kiasan seperti itu tidak termasuk arti istilah “bahasa” dalam ilmu linguistik.
Kedua, ada pengertian istilah “bahasa” dalam arti “harfiah”. Arti itu yang kita temukan dalam ungkapan seperti “ilmu bahasa”, “bahasa Indonesia”, “bahasa inggris”, “semestaan bahasa”, danlain sebagainya. Dalam pengertian demikian kita sebaiknya membedakan langage, langue, dan parole.
Hanya dalam pengertian kedua inilah bahasa itu menjadi objek ilmu linguistic.Di samping itu, kita juga membedakan bahasa tutur dan bahasa tulis.Bahasa tulis dapat disebut “turunan” dari bahasa tutur.Bahasa tutur merupakan objek primer ilmu linguistik, sedangkan bahasa tulis merupakan objek sekunder linguistik.Bahasa tulis, atau “ortografi”, pada umumnya tidak merupakan representasi langsung dari bahasa tutur, dan justru di sinilah ada banyak masalah yang pantas diteliti oleh ahli linguistic.Yang penting disini ialah bahwa setiap bahasa pada dasarnya berbentuk bahasa tutur.Hanya secara sekunder sajalah bahasa berbentuk tulis.
Akhirnya perlu kita bertanya bagaimanalangage, langue dan parole dibedakan sebagai objek linguistik.Parole merupakan objek konkret untuk ahli linguistik, bagaikan bahan “mentah” yang biasa disebut “data” (atau “teks”).Langue adalah objek yang sedikit lebih abstrak, dan yang paling abstrak adalah langage.
Perlu diperhatikan bahwa menguasai suatu bahasa (dalam arti dapat memakai secara lancar) tidak sama dengan menerangkan kaidah-kaidahnya. Tambahan pula, belajar suatu bahasa tidak ama dengan belajar tentang bahasa tersebut.Misalnya, anda menguasai bahasa Indonesia, tetapi tanpa keahlian khusus anda tidak dapat menerangkan tata bahasa Indonesia. Dengan perkataan lain, apa yang anda kuasai (yaitu bahasa Indonesia sebagai langue) memang merupakan objek penelitian linguistik terhadap bahasa Indonesia, tetapi cara menguasai bahasa tersebut bukanlah objek linguistic. Kalau begitu, apakah fungsi penguasaan suatu bahasa dalam penelitian linguistik?Jawabannya adalah penguasaan merupakan titik tolak dari penelitian, dan kita tahu secara intuitif apakah suatu contoh dari parole benar atau tidak benar. Misalnya, bila ada orang berkata kucing itu mengejar besar tikus, serta-merta kita tahu bahwa kalimat itu tidak benar, bukan karena orang itu tidak menguasai bahasa Indonesia, melainkan karena alasan lain, seperti salah ucap, atau karena orangnya lelah, atau ia kurang memperhatikan apa yang dikatakannya.
Dengan perkataan lain, parole adalah objek linguistic konkret. Karena kita lancer dalam bahasa yang bersangkutan (atau orang lain yang membantu kita), kita dapat membedakan yang tepat dan yang tidak tepat, dan dari itulah dapat kita tarik kesimpulan menyangkut langue yang bersangkutan. Akhirnya, dengan membandingkan bahasa-bahasa yang agak banyak, kita dapat menyimpulkan hal-hal tertentu tentng langage
C. Ruang Lingkup Linguistik
D. Fungsi Linguistik
Kamis, 27 Agustus 2020
Selasa, 25 Agustus 2020
Mappacci dan Nilai Filosofisnya bagi Masyarakat Bugis-Makassar
☺☺☺
Mappacci adalah kata kerja dari ‘mapaccing’ yang berarti bersih atau suci. Terkadang, di beberapa daerah Bugis, Mappacci dikenal dengan sebutan mappepaccing. Dalam bahasa Bugis, Mappacci/mappepaccing merupakan suatu kegiatan atau aktifitas yang bertujuan untuk membersihkan segala sesuatu. Mappepaccing bola sibawa lewureng, yang berarti membersihkan rumah dan tempat tidur. Adapun kata perintahnya ‘paccingi’ yang berarti bersifat menyuruh atau memerintahkan untuk membersihkan. Paccingi kasoro’mu berarti bersihkan kasurmu.
Kebanyakan kata kerja dalam bahasa bugis diawali dengan kata ‘Ma’, seperti; maggolo (main bola), mattinju (bertinju), mallaga (berkelahi), mammusu’ (bertempur), makkiana’ (melahirkan), dsb. Kata mapaccing dan Mappacci merupakan dua kata yang kalau dilihat sekilas agaknya sama, namun memiliki arti yang berbeda. Yang pertama merupakan kata sifat dan yang kedua kata kerja. Kita sering mendengarkan penggunaan kedua kata ini dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di masyakat Bugis.
Perkembangan selanjutnya, istilah Mappacci lebih sering dikaitkan dengan salah satu rangkain kegiatan dalam proses perkawinan masyarakat Bugis-Makassar. Mappacci lebih dikenal oleh masyarakat sebagai salah satu syarat yang mesti dilakukan oleh mempelai perempuan dan laki-laki, terkadang sehari, sebelum pesta walimah pernikahan. Biasanya, acara Mappacci dihadiri oleh segenap keluarga dan masyarakat umum, untuk meramaikan prosesi yang sudah menjadi turun temurun ini.
Dalam prosesi Mappacci, terlebih dahulu pihak keluarga melengkapi segala peralatan yang harus dipenuhi, seperti; Pacci (menyeruai salep dan biasanya berasal dari tanah arab, namun ada pula yang berupa tumbuhan dan berasal dari dalam negeri), daun kelapa, daun pisang, bantal, gula, sarung sutera, lilin, dll. Tujuan dari Mappacci adalah untuk membersihkan jiwa dan raga calon pengantin, sebelum mengarungi bahtera rumah tangga.
Tidak diketahui dengan pasti, sejarah awal kapan kegiatan Mappacci ditetapkan sebagai kewajiban adat (suku Bugis/Makassar), sebelum pesta perkawinan. Tapi, menurut kabar yang berkembang di kalangan generasi tua, prosesi Mappacci telah mereka warisi secara turun-menurun dari nenek moyang kita, bahkan sebelum kedatangan agama Islam dan Kristen di tanah Bugis-Makassar. Oleh karena itu, kegiatan ini sudah menjadi budaya yang mendarah daging dan sepertinya sulit terpisahkan dari ritual perkawinan Bugis-Makassar.
Mappacci menjadi salah satu syarat dan unsur pelengkap dalam pesta perkawinan di kalangan masyarakat Bugis-Makassar. Namun, ketika Islam datang, prosesi ini mengalami sinkretisme atau berbaur dengan budaya Islam. Bahkan Islam sebagai agama mayoritas suku Bugis-Makassar telah mengamini prosesi ini, melalui alim ulama yang biasa digelar Anregurutta.
Sekalipun Mappacci bukan merupakan suatu kewajiban agama dalam Islam, tapi mayoritas ulama di daerah Bugis-Makassar menganggapnya sebagai sennu-sennungeng ri decengnge (kecintaan akan kebaikan). Yang terjadi kemudian, pemuka agama berusaha untuk mencari legalitas atau dalil Mappacci dalam kitab suci untuk memperkuat atau mengokohkan budaya ini. Sebagai contoh, salah satu ulama Islam tersohor di Bone, Alm. AGH. Daud Ismail, berusaha menafsirkan dan memaknai prosesi Mappacci beserta alat-alat yang sering digunakan dalam prosesi ini.
Sebelum prosesi Mappacci, biasanya calon pengantin perempuan dihias dengan pakaian pengantin khas Bugis-Makassar. Selanjutnya, calon pengantin diarak duduk di atas kursi (namun ada pula yang duduk di lantai) untuk memulai prosesi Mappacci. Di depan calon pengantin perempuan, diletakkan sebuah bantal yang sering ditafsirkan dan dianggap sebagai simbol kehormatan. Bantal sering diidentikkan dengan kepala, yang menjadi titik sentral bagi aktivitas manusia. Diharapkan dengan simbol ini, calon pengantin lebih mengenal dan memahami akan identitas dirinya, sebagai mahluk yang mulia dan memiliki kehormatan dari Sang Pencipta (Puangge:Bugis).
Di atas bantal, biasanya diletakkan sarung sutera yang jumlahnya tersusun dengan bilangan ganjil. Sebagian ulama menyamakan susunan sarung sutera ganjil, dengan Hadis Nabi Saw yang yang berbunyi; “Allah itu ganjil dan suka yang ganjil”. Sarung sendiri ditafsirkan sebagai sifat istikamah atau ketekunan. Sifat istiqamah sendiri, telah dipraktikkan oleh sang pembuat sarung sutera. Tiap hari, mereka harus menenun dan menyusun sehelai demi sehelai benang, hingga menjadi sebuah sarung yang siap pakai. Dengan sikap istiqamah atau ketekunan ini, diharapkan calon pengantin dapat mengambil pelajaran dan hikmah dari sang pembuat sarung sutera untuk diamalkan dalam kehidupan rumah tangga. Terkadang juga, sarung dianggap sebagai simbol penutup aurat bagi masyarakat Bugis-Makassar. Jadi, diharapkan agar calon mempelai perempuan senantiasa menjaga harkat dan martabatnya, tidak menimbulkan rasa malu (siri’) di tengah-tengah masyarakat kelak.
Terkadang, diatas sarung sutera diletakkan daun pisang. Daun pisang memang tidak memilik nilai jual yang tinggi, tapi memiliki makna yang mendalam bagi manusia pada umumnya. Salah satu sifat dari pisang adalah tidak akan mati atau layu sebelum muncul tunas yang baru. Hal ini selaras dengan tujuan utama pernikahan, yaitu; melahirkan atau mengembangkan keturunan. Karakter lain dari pisang, yaitu; satu pohon pisang, dimungkinkan untuk dinikmati oleh banyak orang. Dengan perkawinan, diharapkan calon pengantin berguna dan membawa mampaat bagi orang banyak.
Diatas daun pisang, terkadang diletakkan daun nangka. Daun nangka tentu tidak memiliki nilai jual, tapi menyimpan makna yang mendalam. Anregurutta di Bone pernah berkata dalam bahasa Bugis; Dua mitu mamala ri yala sappo ri lalenna atuwongnge, iyanaritu; unganna panasae (lempuu) sibawa benona kanukue (paccing). Maksudnya, dalam mengarungi kehidupan dunia, ada dua sifat yang harus kita pegang, yaitu; Kejujuran dan Kesucian. Jadi, dalam mengarungi bahtera rumah tangga, calon pengantin senantiasa berpegang pada kejujuran dan kebersihan yang meliputi lahir dan batin. Dua modal utama inilah yang menjadi pegangan penting, bagi masyarakat Bugis-Makassar dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Diatas daun pisang, terkadang juga diletakkan gula merah dan kelapa muda. Dalam tradisi masyarakat Bugis-Makassar, menikmati kelapa muda, terasa kurang lengkap tanpa adanya gula merah. Sepertinya, kelapa muda sudah identik dengan gula merah untuk mencapai rasa yang nikmat. Seperti itulah kehidupan rumah tangga, diharapkan suami-istri senantiasa bersama, untuk saling melengkapi kekurangan dan menikmati pahit manisnya kehidupan duniawi.
Terakhir, Mappacci juga dilengkapi dengan lilin sebagai simbol penerang. Konon, zaman dahulu, nenek moyang kita memakai Pesse' (lampu penerang tradisional yang terbuat dari kotoran lebah). Maksud dari lilin, agar suami-istri mampu menjadi penerang bagi masyarakat di masa yang akan datang. Masih banyak lagi peralatan prosesi, yang biasa dipakai oleh masyarakat, sesuai dengan adat dan kebiasaan mereka. Namun, secara umum peralatan yang telah disebutkan diatas, standar yang sering digunakan dibeberapa daerah Bugis-Makassar.
SOAL
1. Jelaskan makna dari mapacci!
2. Jelaskan simbol-simbol benda-benda dari kegiatan mappacci!
Jangan lupa tulis nama dan kelas di kolom komentar
Senin, 24 Agustus 2020
KD. 3.3 Menganalisis berbagai jenis klausa dalam teks ilmiah bertema pendidikan, lingkungan hidup, sosial, dan atau budaya
Pengertian Klausa
Dalam tata bahasa pengertian dari klasa adalah sebuah kelompok kata yang terdiri atas subjek dan juga predikat. Klausa juga dapat diartikan sebagai satuan yang ada didalam bahasa terdiri atas beberapa kata yang mengandung subjek maupun predikat dan memiliki potensi untuk menjadi kalimat.
Klausa dapat dikatakan hampir sama dengan kalimat dan juga berpotensi menjadi kalimat, hanya saja perbedaan diantara keduanya antara klausa dan kalimat ialah pada intonasi dan tanda baca yang terdapat dalam klausa. Didalam teori, unsur atau inti dari klausa ialah ada Subjek (S) dan juga ada Predikat (P), akan tetapi dalam pelaksanaanya, kadang unsur subjek menjadi hilang sehingga tidak tertulis, namun tetap dapat ditemukan secara eksplisit.
Ciri – Ciri Klausa
Dibawah ini beberapa ciri yang terdapat dalam klausa diantaranya sebagai berikut :
- Mempunyai subjek baik secara tertulis maupun tidak tertulis.
- Ada predikat
- Tidak mempunyai intonasi didalamnya dan juga tidak diakhiri dengan tanda baca.
Unsur – Unsur Klausa
Secara garis besar, klausa itu sendiri dapat dibedakan menjadi 2 yakni unsur inti dan tidak inti.
1. Unsur inti klausa adalah subjek (S) dan predikat (P)
2. Unsur yang bukan inti klausa adalah objek (O), pelengkap (Pel), keterangan (K).
Subjek dan Predikat
Subjek ialah bagian dari klausa yang berupa nomina atau frase nominal yang menandai apa yang ungkapkan oleh seorang pembicara.
Predikat ialah merupakan bagian yang terdapat dalam klausa yang menandai apa yang diungkapkan oleh pembicara tentang subjek tersebut. Subjek dapat berwujud dalam bentuk nomina, ajektiva, numeralia, pronominal, verba, atau frase preposisional.
Didalam klausa subjek mendahului didepan predikat. Ciri dari predikat yang terletak dibelakang subjek, ditandai dengan afiks misalnya ber-, me-, ini seperti didalam predikat verbal.
Contoh : “Fandi Penulis”
Fandi sebagai subjek dan Penulis sebagai predikat. Memperhatikan urutannya S terletak di depan P, atau S mendahului P. Subjek klausan di atas yaitu Fandi termasuk leksem yang takrif. Sebaliknya apabila dibalik menjadi Penulis Fandi, ini bukanlah klausa. Kata Penulis bukan nomina takrif, dan agar menduduki fungsi S, kata Penulis harus diikuti demonstrativa itu, sehingga menjadi Penulis itu Fandi.
Objek
Objek ialah bagian yang terdapat didalam klausa yang berupa nomina maupun frasa nomina yang melengkapi verba transitif. Objek yang dikenai perbuatan disebut didalam predikat verbal. Objek dapat dibagi menjadi objek langsung dan juga objek tidak langsung.
Objek langsung ialah objek yang langsung dikenai perbuatan yang disebutkan didalam predikat verbal, kemudian objek tak langsung ialah objek yang menjadi penerimaan atau yang diuntungkan oleh perbuatan yang terdapat didalam predikat verbal.
Contoh objek langsung:
- Ibu sedang memasak sayur
- adik membawa makanan
Sayur pada contoh diatas merupakan objek bagi verba memasak dan makanan menjadi objek bagi verba membawa
Contoh objek tak langsung:
- Ibu sedang memasakan sayur untuk kita semua
- adik membawakan makanan untuk ayah
- Kata semua objek tak langsung bagi verba memasakan, sedangkan untuk ayah objek tak langsung bagi verba membawakan.
Pelengkap
Klausa pelengkap ialah klausa yang terdiri dari nomina, ajektiva, frasa nominal, atau frasa adjektival yang merupakan bagian dari predikat verbal, seperti contoh :
- Adikku menjadi tentara
- Kamu dianggap patung
- Kakak menari Jawa
- Bibi berdagang kain
Keterangan
Keterangan ialah yang menjadi bagian dari luar inti, yang memiliki fungsi meluaskan atau juga membatasi makna subjek maupun makna predikat. Berikut dibawah ini dijelaskan secara singkat semua dari keterangan yang ada dalam bahasa indonesia. Contoh kata keterangan yang ada diantaranya yakni :
- Keterangan akibat: penjahat itu dihukum mati
- Keterangan sebab: karena sakit, adi tidak jadi berlibur
- Keterangan jumlah: seperti pinang di belah dua
- Keterangan alat: didorong dengan mesin pendorong
- Keterangan cara: diterima dengan sopan, disetujui dengan rembukan
- Keterangan subjek: guru yang baik, rumah yang bersih, anak yang rajin
- Keterangan syarat: tolonglah kalau kau bisa, angkatlah bila kuat
- Keterangan objek: mencari pengusaha yang jujur, menjadi istri yang baik
- Keterangan tujuan: bekerja untuk hidup, makan demi kesehatan
- Keterangan tempat: datang dari Timur pergi ke Bandung
- Keterangan waktu : ditunggu sampai besok pagi, berangkat masih malam
- Keterangan perlawanan : meskipun lambat, selesai juga dilakukannya
- Keterangan kualitas: berlari bagai jet terbang, menggelegar seperti guruh
- Keterangan modalitas: tidak mungkin itu terjadi, mustahil ia berbohong
- Keterangan pewatas: keterangan lebih lanjut, diceritakan lebih detail
Jenis Klausa
Jenis Klausa berdasarkan strukturnya
Klausa bebas
Klausa bebas ialah klausa yang mempunyai potensi untuk menjadi sebuah kalimat
Contoh klausa bebas, diantaranya yakni :
- Aku harus pergi
- Kakak menangis
- Ibu sangat marah
Klausa terikat
Klausa terikat ialah klausa yang tidak mempunyai potensi untuk menjadi sebuah kalimat, meskipun penulisannya diawali oleh huruf besar atau kapital dan diakhiri oleh tanda baca.
Contoh klausa terikat, diantaranya yakni :
- Supaya mereka sadar
- Ketika ayah tidur
- Dekat kantor kecamatan
Jenis Klausa berdasarkan fungsinya
Klausa subjek
Klausa subjek ialah klausa yang memiliki kedudukan sebagai subjek dalam sebuah kalimat. Contoh klausa subjek, yakni : Ternyata kakak sedang membaca buku tersebut.
Klausa objek
Klausa Objek ialah klausa yang memiliki kedudukan sebagai objek dalam sebuah kalimat. Contoh klausa objek, yakni: Bibi sedang menyusun daftar dagangan.
Klausa keterangan
Klausa keterangan ialah klausa yang memiliki kedudukan sebagai keterangan dalam sebuah kalimat. Contoh klausa keterangan, yakni : Karena sakit, Agung tidak bisa pergi sekolah.
Klausa pelengkap
Klausa pelengkap ialah klausa yang berkedudukan sebagai pelengkap dalam sebuah kalimat. Contoh klausa pelengkap, yakni: Kamu dianggap telah mati.
Jenis Klausa berdasarkan kelengkapan unsurnya
Klausa lengkap
Klausa lengkap ialah klausa yang mempunyai unsur Subjek (S) dan juga Predikat (P).
Contoh klausa lengkap, yakni :
- Kalian sedang bekerja
- Bibi memasak
- Kakak sekolah hari ini
Klausa tidak lengkap
Klausa tak lengkap ialah jenis klausa yang hanya mempunyai unsur Predikat (P) tanpa Subjek.
Contoh klausa tak lengkap, yakni :
- terpaksa berhenti dari sekolahnya
- sudah datang dari tadi pagi
- sedang membuat makanan
Jenis Klausa berdasarkan kata negatifnya
Klausa negatif
Klausa negatif ialah klausa yang mempunyai kata negatif. Misalnya ”jangan”, “tidak”,”bukan”, dan lainnya. Sehingga predikatnya memiliki sifat negatif. Contohnya klausa negatif, yakni :
- Ibu belum pergi
- Bukan Dia yang melakukannya
Klausa positif
Klausa positif ialah klausa yang tidak mempunyai kata negatif sehingga predikatnya memiliki sifat positif. Contoh klausa positif, yakni :
- Kamu berhasil melakukannya
- Kalian sudah menjadi anggota
Jenis Klausa berdasarkan fungsi predikatnya
Klausa verbal
Klausa verbal ialah klausa yang predikatnya berwujud kata kerja. Contoh klausa verbal, yakni :
- Dia berlari
- Paman membaca
Klausa nominal
Klausa nominal ialah klausa yang predikatnya berwujud kata benda. Contoh klausa nominal, yakni :
- Bibinya seorang guru
- Andi siswa SMK
Klausa adjectival
Klausa adjektival ialah klausa yang disusun dari kata sifat. Contoh klausa adjektival, yakni :
- Sendal yang mahal
- Rajin sekali
Klausa preposisional
Klausa preposisional ialah, klausa yang predikatnya adalah frasa dari kata depan (preposisi). Contoh klausa preposisional, yakni:
- dari pasar pagi
- menuju ke sekolah
Klausa numeral
Klausa numeral ialah klausa yang predikatnya berwujud kata atau frasa numeral (bilangan). Contoh klausa numeral, yakni:
- Lima juta sebulan
- Empat kali sehari
Terima Kasih.
Sabtu, 22 Agustus 2020
KAJIAN ARTIKEL JURNAL BUKU DAN PENELITIAN YANG RELEVAN DENGAN PENDIDIKAN/PEMBELAJARAN SASTRA
Berikut ini beberapa penelitian dan artikel yang berkaitan dengan pendidikan dan pembelajaran sastra. Harapannya adalah setelah membaca beberapa penelitian atau artikel, mahasiswa program S2 Pendidikan Bahasa Indonesia mampu menelaah dan memahami hakikat serta isi penelitian pembelajaran sastra.
1. Pendidikan Karakter melalui Pembelajaran Sastra
Oleh Maman Suryaman
Abstrak. One of the important aspects in appropriate literature learning is character education. Based on the results of several studies, some conclusions can be drawn. First, essentially literature is a medium of mental and intellectual enlightenment, the most important aspect in character education. Second, there are a variety of literary works that need appreciating as they are important in the character development. Third, literature learning relevant to the character development is one that enables learners todevelop their awareness of reading and writing as important prerequisites for the character development. Fourth, literary books relevant to the character development are those with beautiful language capable of making the readers moved, containing high humanistic values, and encouraging the readers to treat other people and creatures well.
2. PENGARUH METODE ROLE PLAYING TERHADAP PEMBELAJARAN DRAMA
Oleh N Anggita, HRE Rasyid, A Aswad (https://jurnal.umsrappang.ac.id/cakrawala/article/view/189)
Abstrak. Pembelajaran Drama. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh metode role playing terhadap pembelajaran drama pada siswa kelas XI MIPA. 3 SMA Negeri 6 Sidrap 2018/2019. Desain penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu dengan jumlah sampel sebanyak 32 siswa. Data dikumpulkan melalui teknik dokumentasi dan tes. Hasil analisis data menunjukkan bahwa nilai rata-rata kelompok eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rata-rata kelompok kontrol (78, 12> 73, 75). Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis alternatif yang menyatakan “Ada pengaruh metode role playing terhadap pembelajaran drama siswa kelas XI MIPA. 3 SMA Negeri 6 Sidrap”, diterima. Oleh karena itu, hipotesis nihil yang berbunyi “Tidak ada pengaruh metode role playing terhadap pembelajaran drama siswa kelas XI MIPA. 3 SMA Negeri 6 Sidrap”, ditolak.
3. Pendidikan Karakter Melalui Kearifan Lokal
Oleh Rustam Efendy Rasyid ( http://hdl.handle.net/11617/9608)
Pendidikan karakter bukan hal baru dalam tradisi pendidikan di Indonesia.
Beberapa pendidik
Indonesia modern yang kita kenal seperti Soekarno telah mencoba
menerapkan semangat
pendidikan karakter sebagai pembentuk kepribadian dan identitas bangsa
yang bertujuan
menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang berkarakter. Persoalan
pendidikan karakter di
Indonesia sejauh ini menyangkut pendidikan moral yang dalam aplikasinya
terlalu membentuk
satu arah pembelajaran khusus sehingga melupakan mata pelajaran
lainnya.Integrasi pendidikan
karakter dalam pembelajaran terlalu membentuk satu sudut kurikulum yang
diringkas kedalam
formula menu siap saji tanpa melihat hasil dari proses yang dijalani.
Pembentukan karakter
individu belum dapat dikatakan tercapai karena dalam prosesnya
pendidikan di Indonesia
terlalu mengedepankan penilian pencapaian individu dengan tolok ukur
tertentu terutama
logika-matematik sebagai ukuran utama yang menempatkan seseorang sebagai
warga kelas
satu. Dalam prosesnya pendidikan karakter yang berorientasi pada moral
dikesampingkan dan
akibatnya banyak kegagalan nyata pada dimensi pembentukan karakter
individu. Salah satu
bentuk pendidikan karakter yang patut diaplikasikan adalah dengan
penanaman nilai-nilai
kearifan lokal. Di Indonesia, kearifan lokal begitu beragam dimiliki
oleh setiap daerah. Agar
eksistensi budaya tetap kukuh dan karakter anak bangsa tetap terjaga,
maka kepada generasi
penerus dan pelurus perjuangan bangsa perlu ditanamkan rasa cinta akan
kebudayaan lokal. Salah satu cara yang dapat ditempuhadalah dengan cara
mengintegrasikan dan mengaplikasikan
secara optimal nilai-nilai kearifan budaya lokal dalam proses
pembelajaran, ekstra kurikuler,
atau kegiatan kesiswaan di sekolah melalui porgam Pendidikan Karakter
Berbasis Kearifan
Budaya Lokal.
4. PEMBELAJARAN SASTRA MELALUI BAHASA DAN BUDAYA UNTUK MENINGKATKAN PENDIDIKAN KARAKTER KEBANGSAAN DI ERA MEA (MASAYARAKAT EKONOMI ASEAN)
Makalah ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan dan menjelaskan hubungan sastra, bhasa dan budaya di era mea, (3) mendeskripsikan dan menjelaskan sastra dalam menumbuhkan pedidikan karakter kebangsaan di era mea. Makalah ini menggunakan metode studi pustaka atau Library Research. Penulis memanfaatkan berbagai literature untuk dijadikan pedoman dan sumber referensi. Metode studi pustaka dapat dijadikan sebagai data dan sumber data mengenai pembelajaran sastra berdasarkan bahasa dan budaya untuk meningkatkan pendidikan karakter kebangsaan di era mea. Hasil dari makalah ini bahwa sastra dan bahasa di era mea sangat dibutuhkan dalam mengembangkan kemampuan berkomunikasi. Bahasa pada karya sastra dapat menambah penguasaan kosa kata bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Bahasa daerah yang digunakan dalam karya sastra bagian dari pengenalan budaya. Di era mea komunikasi dapat berupa hubungan antarbangsa melalui budaya. Karya sastra yang mengandung pendidikan karakter yang dapat dijadikan sebagai identitas bangsa yang harus dimiliki masyarakat Indonesia di era mea. Pendidikan karakter kebangsaan pada karya sastra menjadi saranan kesiapan masyarakat Indonesia menghadapi persaingan di era mea dengan menggunakan bahasa dan budaya sebagai media berkomunikasi.
5. Tahapan Perkembangan Anak dan Pemilihan Bacaan Sastra Anak
Oleh Burhan Nurgiantoro (https://eprints.uny.ac.id/1554/1/003-burhan.pdf)
Abstrak. Universally, various psychological aspects of children develop through certain stages according to their age level. They go through stages of intellec-tual, moral and emotional developments, stages of personality and language developments, and stages in the growth of their concept about stories. Each type of development is divided into specific stages. Piaget divides children’s intellectual development, for example, into four stages: the sensory-motor, pre-operational, concrete operational, and formal operational stages. These stages come in accordance with their age development.
Each stage has characteristics distinguishing it from anya other stage. The difference in characteristics logically implies in turn a difference in their response to reading matter. Consequently, in selecting reading matter for children, one should consider their age in order to make the selection match their psychological development of children of a certain age level would make the reading matter become uncommunicative because it is too difficult for them or make it uninteresting and boring for them because it is too easy or too simple.